Penerapan “Kanban” dalam Pelayanan Kefarmasian
apt. Taufiqurohman, M. Clin. Pharm.
Akhir-akhir ini lean management menjadi hits dikalangan manajemen rumah sakit. Tak ketinggalan instalasi farmasi juga mengimplementasikan prinsip-prinsip dalam lean management. Meskipun update keilmuan (CPD/ Seminar) manajemen lebih sedikit dibanding dengan farmasi klinik namun lean management tetap menarik bagi apoteker terutama yang berposisi sebagai kepala instalasi maupun penanggungjawab unit/ depo.
Dalam sejarahnya lean management bermula dari perusahaan Jepang yang pada waktu paska perang dunia II mengalami kekurangan sumber daya manusia, material dan finansial. Agar mampu bertahan dan berkembang perusahaan harus mengembangkan praktek-praktek/ prinsip manufaktur yang rendah biaya. Pimpinan Toyota waktu itu (Eiji Toyoda, Taiichi Ohno dan Shingeo Shingo mengembangkan Toyota Production System yang bertujuan untuk meminimalkan penggunaan sumberdaya yang tidak memberi nilai tambah pada produk.
Salah satu prinsip dalam lean management adalah pengurangan waste yaitu aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah. Waste yang mungkin terjadi antara lain:
- Defects (kesalahan yang terjadi dalam proses)
- Overproduction (memproduksi lebih awal atau lebih cepat dari yang dibutuhkan)
- Waiting (aktivitas menunggu untuk menuju ke tahap pelayanan selanjutnya)
- Non-utilized talent (kurang atau tidak memanfaatkan kemampuan, potensi dan kreatifitas seseorang yang dimiliki dengan maksimal)
- Transportation (perpindahan barang yang tidak diperlukan)
- Inventory (peletakan/ penyimpanan barang yang tidak dibutuhkan selama proses)
- Motion (pergerakan petugas yang tidak diperlukan)
- Extra-processing (melakukan aktivitas yang tidak diperlukan)
Delapan waste ini biasa disingkat dengan DOWNTIME.
Instalasi Farmasi melakukan dua kegiatan pokok pelayanan kefarmasian yaitu pengelolaan persediaan (inventory) dan pelayanan farmasi klinik. Tugas pengelolaan persediaan ini menjadi tantangan tersendiri bagi apoteker karena mengatur jumlah persediaan yang optimal yaitu dalam jumlah yang siap tersedia ketika dibutuhkan dan tidak berlebihan maupun terjadi penumpukan atau kedaluarsa. Dalam manajamen/ pengendalian persediaan kita mengenal beberapa istilah antara lain ABC (Always Better Control), VEN (Vital, Esensial, Non-esensial), EOQ (Economic Order Quantity) dan Stok Minimal dan Maksimal. Dalam prakteknya metode diatas dapat digunakan sesuai dengan kondisi rumah sakit masing-masing.
Untuk membantu teknis pelaksanaan pengendalian persediaan dapat menggunakan tools-tools tertentu misalnya menggunakan visual management. Setiap orang yang terlibat dalam proses pengelolaan persediaan dimungkinkan mudah memahami melalui visual management, misalnya konsep pareto ABC maupun fast moving, slow moving, deathstock ditampilkan dalam kartu-kartu yang berwarna. Obat-obat fast moving ditulis dalam kartu warna hijau, obat-obat regular move dalam kartu biru, obat dan alkes slow moving dalam kartu kuning kemudian obat dan alkes deathstock dalam kartu merah. Dalam lean management visual management ini sering disebut sebagai “kanban”, yang berasal dari bahasa Jepang. Istilah “kanban” ini dapat diterjemahkan menjadi “papan visual” atau “kartu visual”.
Konsep Stok Minimal – Stok Maksimal dapat juga diimplementasikan dalam kartu tersebut. Selain warna, kartu-kartu tersebut dapat diisi dengan keterangan antara lain Stok minimal, stok maksimal dan jumlah order. Hal ini akan mempermudah staf (teknisi) dalam melakukan pengendalian tanpa harus melakukan perhitungan ulang. Dalam prakteknya kartu-kartu tersebut dapat ditambahkan juga kemana harus order sehingga secara otomatis ketika tercapai jumlah minimal harus order kita bisa langsung menulis jumlah kebutuhan dan kemana harus melakukan pembelian.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk menerapkan “kanban”:
- Buat analisis pareto obat/ abmhp, tentukan katogori paretonya : A, B, atau C
- Buat analisis moving obat/ abmhp, tentukan masuk kategori fastmoving, regular move, slowmoving atau deathstock
- Hitung Stok maksimal – Stok minimal
- Buat kartu per obat/ abmhp (warna sesuai kategori moving), diisi dengan pareto dan data stok minimal – stok maksimal
- Tempelkan/ letakan di depan stok obat
- Jika memungkinkan dapat diberi penanda lebih, misal dibuat garis pembatas menggunakan plester/ selotip
Dalam era 4.0 “kanban” ini juga dapat diterapkan dengan lebih baik, yaitu melalui sistem informasi manajemen rumah sakit (simrs). Inventory control secara otomatis melalui simrs tentu akan sangat mempermudah pekerjaan apoteker. Stok obat dapat diberi flagging yang menunjukan pareto ABC, moving obat dan dapat dibuat perhitungan stok minimal – stok maksimal. Secara otomatis pada periode tertentu yang kita tentukan kita bisa tau obat atau alkes mana saja yang jumlahnya dibawah stok minimal, berapa jumlah kebutuhannya dan pembelian ke distributor mana.
Saat ini tersedia pula rak modular yang dapat membantu pengelolaan persediaan farmasi, dimana kita dapat menempatkan obat/ abmhp lebih rapi dan efisien. Rak modular dapat diatur sedemikian rupa sesuai dengan pola penggunaan obat/ abmhp, dimana obat-obat fast moving yang memang dibutuhkan lebih banyak dapat disediakan space yang lebih besar dibandingkan dengan obat/ abmhp lain yang slow moving atau death stock. Kombinasi rak modular, analisis pareto-moving-MMSL (minimal maximal stock level) dan penggunaan kanban ini dapat membantu apoteker mengelola persediaan lebih efisien.
Selain untuk kepentingan pengelolaan persediaan, visual management dapat juga diaplikasikan pada pelayanan farmasi klinik. Yang sudah rutin digunakan yaitu pelabelan obat high alert dan “LASA” menggunakan sticker berwarna merah dan hijau untuk memudahkan petugas mengenali atau waspada terhadap obat-obat tersebut. Selain itu clinical pathway dapat disusun sesuai prinsip-prinsip kanban yaitu visualisasi alur kerja dan pembatasan work in-progress. Clinical pathway adalah alur yang menunjukkan secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan. Secara sederhana dapat dibilang bahwa clinical pathway adalah sebuah alur yang menggambarkan proses mulai saat penerimaan pasien hingga pemulangan pasien. Clinical pathway menyediakan standar pelayanan minimal dan memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat waktu. Clinical pathway ini dapat dibuat dalam bentuk form yang berisikan tabel atau daftar kerja yang dapat dilihat oleh pihak-pihak yang berkepentingan yaitu profesi pemberi asuhan maupun dalam bentuk komputerisasi yang terintegrasi dengan rekam medis elektronik.
Menarik bukan, “kanban” tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk manajemen tetapi juga dapat dikembangkan untuk kepentingan klinis. Seperti halnya seorang apoteker yang tidak hanya mengelola persediaan tetapi juga melakukan asuhan kefarmasian terhadap pasien.
Referensi:
Djasri, H. Penerapan Lean Management di Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) 2018 yang diselenggarakan oleh PP Hisfarsi pada tanggal 12 -14 September 2018 di Batam.
Graban, M. (2016). Lean Hospitals Improving Quality, Patient Safety, and Employee Engagement , Third Edition, CRC Press
Kho, Budi. Pengertian Kanban dan 6 Aturan Utamanya, diakses pada tanggal 8 Juli 2020 di https://ilmumanajemenindustri.com/pengertian-kanban-dan-6-aturan-utamanya/
Rahma, P.A. Implementasi Clinical Pathway Untuk Kendali Mutu dan Kendali Biaya Pelayanan Kesehatan, diakses pada tanggal 8 Juli 2020 di https://www.mutupelayanankesehatan.net/index.php/component/content/article/19-headline/208