Berita

RAAS Inhibitor (RaSi), Renoprotective or Renotoxic?

apt. Nazulanita Rahma, M.Clin.Pharm.
(RSUD Panembahan Senopati)

Selama ini terdapat perdebatan mengenai apakah ACEi (Angiotensin Converting Enzyme inhibitors)/ARB (Angiotensin Receptor Blockers) itu renotoxic (toksik terhadap ginjal) atau justru renoprotective (bermanfaat terhadap ginjal)? Apabila ditinjau dari sisi penggunaan klinis berdasarkan pedoman, baik dari KDIGO atau JNC 8 menyebutkan bahawa tata laksana pasien hipertensi dengan CKD, lini pertama pengobatannya adalah ACEi/ARB. Tapi banyak sumber lain yang menyatakan bahwa ACEi/ARB mempunyai efek samping AKI (acute kidney injury) atau memiliki potensi untuk menaikkan angka SrCr (serum kreatinin).

Lalu manakah pernyataan yang benar?

Sebelum membahas mengenai efek renotoxic dan renoprotective dari ACEi/ARB, kita perlu memahami RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) terlebih dulu dan efeknya pada tubuh. RAAS adalah suatu mekanisme tubuh untuk mempertahankan sistem sirkulasi berjalan normal dengan tujuan akhir yaitu mempertahankan tekanan darah dan volume plasma. Aktivasi RAAS akan menyebabkan retensi Na dan air (peningkatan volume plasma), serta peningkatan resistensi perifer total yang ujungnya akan meningkatkan tekanan darah. RAAS ini adalah mekanisme untuk menjaga homeostasis tubuh, dan dapat dikatakan sebagai salah satu mekanisme lifesaving. Namun ada kalanya di masa-masa tertentu, aktivasi RAAS berkepanjangan justru merugikan, ini terutama terjadi pada kondisi-kondisi di mana sebetulnya tubuh itu tidak kekurangan cairan, tapi ginjal menerima sinyal sebagai penurunan perfusi, contohnya adalah pada kondisi gagal jantung. Pada kondisi gagal jantung, terjadi penurunan fungsi jantung dalam memompa darah yang menyebabkan penurunan curah jantung/cardiac output (CO) dan kemudian mengakibatkan penurunan perfusi jaringan, termasuk ke ginjal, yang diinterpretasikan sebagai penurunan perfusi jaringan total, padahal sebab utamanya adalah jantung yang tidak kuat dalam memompa darah.

Kondisi lainnya misalnya saat terjadi gagal ginjal kronis/chronic kidney disease (CKD). Ginjal itu adalah salah satu organ yang luar biasa. Nefron, satuan fungsional terkecil dari ginjal, jumlahnya dapat mencapai satu juta pada setiap ginjal. Nefron ini termasuk dalam jenis sel yang fungsional seumur hidup, sehingga jumlahnya tidak akan berubah kecuali nefron tersebut mengalami nekrosis (kematian sel akibat penyakit atau trauma). Meskipun demikian, apabila ada kondisi penurunan jumlah nefron karena nekrosis, nefron-nefron lain yang masi hidup akan melakukan penyesuaian sehingga tetap bisa mengakomodasi tugas ginjal secara utuh. Secara teori, saat fungsi ginjal menurun hingga 25%, barulah pasien merasakan gejala klinis dari gagal ginjal tersebut. Pada kondisi seperti ini, dapat terjadi kesalahan interpretasi kondisi tubuh secara keseluruhan seperti pada gagal jantung, yaitu sebetulnya tubuh dalam kondisi kelebihan cairan namun malah dianggap sebagai kekurangan. Aktivasi RAAS saat kondisi seperti ini justru membahayakan, karena akan berujung pada kejadian kardiovaskular (cardiovascular (CV) events). Apabila diingat kembali, tujuan dari terapi CKD adalah memperlambat progresivitas CKD dan meminimalisasi CV events. Dan tujuan ini sebetulnya juga selaras dengan tujuan terapi dari banyak penyakit kronis lainnya.

Merujuk pada KDIGO (2021), pemberian RAAS inhibitor/RaSi (dalam hal ini adalah ACEi/ARB) direkomendasikan karena terbukti dari berbagai studi dapat mengurangi mortalitas, kejadian CV, dan bahkan tetap bisa menurunkan risiko / memperlambat kejadian penurunan eGFR (estimated Glomerulus Filtration Rate), jika dibandingkan dengan plasebo dengan variabel yang umum diujikan adalah perbandingan kejadian doubling SrCr atau peningkatan SrCr sebanyak dua kali lipat. Bukti-bukti ini paling kuat terlihat pada pasien CKD dengan makroalbuminemia, baik pada pasien diabetes maupun tidak. Salah satu studi yang dijadikan dasar rekomendasi yaitu REIN (Ramipril Efficacy In Nephropathy) dengan salah satu subgroup studinya yaitu GISEN REIN-stratum 2 yang mengamati 166 pasien dengan proteinuria ≥3 g per 24 jam dihentikan lebih awal karena efikasi ramipril yang sudah terlihat dalam memperlambat penurunan eGFR secara signifikan dibandingkan plasebo. Bukti ini juga dinilai cukup kuat pada pasien mikroalbuminuria, dengan salah satu subgroup studi REIN Stratum-1 yang mengamati 186 pasien dengan proteinuria >1 sampai <3 g per hari yang memperlihatkan kejadian end stage kidney disease (ESKD) yang lebih rendah pada kelompok ramipril. Sehingga pemberian RaSi tetap direkomendasikan pada kelompok ini. Bukti-bukti ini memperlihatkan bahwa RaSi bersifat renoprotective, terutama pada pasien dengan proteinuria (baik DM mapun non-DM).

Meskipun demikian, KDIGO 2021 tersebut tetap menyebutkan bahwa RaSi dapat menyebabkan AKI dari potensinya memvasodilatasi arteriol eferen ginjal. Efek samping ini terutama terlihat saat RaSi diberikan dalam kombinasi dengan agen nefrotoksik lain seperti AINS (termasuk COXIB) dan aminoglikosida. Namun, karena efek renoprotective dari RaSi tetap diinginkan, maka pada pasien dengan albuminuria, RaSi tetap direkomendasikan dengan tambahan pemantauan SrCr pasien. Pemantauan ini dapat dilakukan sebelum dan setelah 4 minggu pemberian RaSi. Apabila terjadi peningkatan SrCr hingga lebih dari 30%, maka dapat dilakukan penurunan dosis hingga penghentian RaSi.

Selain itu, efek samping lain yang perlu diperhatikan adalah kejadian hiperkalemia. Serum kalium pasien juga disarankan untuk dimonitor sebelum dan setelah 2-4 minggu penggunaan RaSi. Meski demikian, apabila terdapat kejadian hiperkalemia, maka dilakukan tatalaksana untuk menurunkan nilai serum kalium. Pemberian RaSi masih dapat dilakukan kecuali kondisi hiperkalemia bersifat refrakter dan/atau life-threatening.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa RaSi atau ACEi/ARB memang mempunyai dua sifat yang bertolak belakang, yaitu renoprotective dan renotoxic. Sifat renoprotective ini muncul dari kemampuan RaSi untuk memperlambat progresivitas CKD maupun mencegah kejadian kardiovaskular. Sementara sifat renotoxic RaSi muncul dari potensinya untuk meningkatkan SrCr maupun nilai kalium. Namun, seperti termaktub dalam pedoman KDIGO tersebut, berdasarkan banyak penelitian, terlihat bahwa efek renoprotective RaSi lebih tinggi dibandingkan efek renotoxicnya. Di sinilah peran kita sebagai apoteker seharusnya banyak terlihat dengan melakukan pemantauan agar keseimbangan rasio risk-benefit nya tetap condong pada area benefits.

Because, for most of the time, the key to optimizing drug therapy is to maintain the balance of its benefits and harms. And this is truly the art and beauty of pharmacotherapy.

Selamat berpraktik sejawat Apoteker. Jayalah Apoteker Indonesia!

Referensi:

  • James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler J, Lackland DT, LeFevre ML, MacKenzie TD, Ogedegbe O, Smith SC Jr, Svetkey LP, Taler SJ, Townsend RR, Wright JT Jr, Narva AS, Ortiz E. 2014 evidence-based guideline for the management of high blood pressure in adults: report from the panel members appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA. 2014 Feb 5;311(5):507-20. doi: 10.1001/jama.2013.284427. Erratum in: JAMA. 2014 May 7;311(17):1809. PMID: 24352797.
  • Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Blood Pressure Work Group. KDIGO 2021 Clinical Practice Guideline for the Management of Blood Pressure in Chronic Kidney Disease. Kidney Int. 2021;99(3S):S1–S87.
  • Sherwood,Lauralee, .(2016). Human Physiology : from cells to system, Ninth Edition (9 th. Ed). USA: Cengange Learning.
  • The GISEN Group (Gruppo Italiano di Studi Epidemiologici in Nefrologia). Randomised placebo-controlled trial of effect of ramipril on decline in glomerular filtration rate and risk of terminal renal failure in proteinuric, non-diabetic nephropathy. Lancet. 1997;349:1857–1863.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: