Berita

SERBA-SERBI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)

apt. Gita Mayasari, M.Sc
Instalasi Farmasi RSUD Kota Yogyakarta
Jl. Wirosaban No1. Telp (0274) 371195, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spectrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah atau mematikan, tergantung pada pathogen penyebabnya, factor lingkungan dan factor pejamu (WHO, 2007). Infeksi saluran nafas atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laryngitis, epiglotitis, tonsillitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran nafas bawah meliputi infeksi pada bronkus, alveoli seperti bronkitis, bronkiolits, pneumonia. (Depkes RI, 2005).

Penyebab ISPA

Ada lebih dari 300 jenis mikroorganisme penyebab ISPA, seperti bakteri, jamur atau virus. Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa factor. Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan (WHO, 2007):

  • Kondisi lingkungan  (misalnya: polutan udara, kepadatan anggota keuarga, kelembaban, kebersihan, musim, temperature)
  • Ketersediaan dan efektivitas pelayanan  kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya: vaksin, akses terhadap pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi)
  • Faktor pejamu seperti usia, kebiasaan merokok, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisis kesehatan umum
  • Karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi, dan jumlah atau dosis mikroba.

ISPA dan Polusi Udara

Terkait dampak polusi di sektor kesehatan, terutama terhadap kejadian ISPA, WHO telah memberikan pedoman untuk melakukan pemantauan terhadap lima komponen yaitu:

  • PM (particulate matter),
  • karbon monoksida (CO),
  • ozone (O3) yang ada di permukaan tanah,
  • nitrogen dioksida (NO2),
  • sulfur dioksida (SO2).

Dari kelima komponen tersebut tiga diantaranya yaitu CO, SO2, dan NO2 merupakan gas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil yang banyak digunakan dalam transportasi dan industri.

 SO2 mempengaruhi keutuhan lapisan mukosa, peningkatan sekresi mukus dan mengganggu gerak silia. Keadaan ini akan memudahkan mikrobiologi menginfeksi saluran pernapasan bdan menurunkan fungsi kerja paru.(Firdaus AP, 2016).

Particulate matter (PM) mampu menembus jauh ke dalam paru-paru dan masuk ke aliran darah sehingga dapat menyebabkan dampak pada kardiovaskuler, serebrovaskuler, dan pernapasan.(WHO, 2023)

Apa Gejala ISPA??

Polusi udara memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang pada kesehatan. Gejala yang muncul dalam jangka pendek akibat polusi udara:

  • mata berair dan gatal,
  • mata merah,
  • hidung gatal dan berair,
  • sakit tenggorokan,
  • batuk berdahak,
  • batuk hingga sesak napas.

Sementara efek jangka panjang akan dirasakan apabila terpajan polusi  udara selama bertahun-tahun. Kasus yang paling banyak terjadi adalah penurunan fungsi paru yang berlanjut menjadi asma, PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) hingga kanker paru.

Farmakoterapi ISPA

Tata laksana terapi pada ISPA tidak hanya bergantung pada antibiotika. Beberapa kasus ISPA disebabkan oleh virus yang tidak memerlukan terapi antibiotika, cukup dengan terapi suportif. Terapi suportif berperan besar dalam mendukung sukses terapi antibiotika, karena berdampak mengurangi gejala.

1. Antibiotika
Penggunaan antibiotika pada ISPA harus didasarkan pada indikasi yang sesuai. Beberapa bakteri yang menjadi penyebab ISPA diantaranya adalah streptokokus, stafilokokus, haemophilus influenza, bordetella, corynebacterium. Antibiotika yang dapat digunakan diantaranya adalah amoksisilin,amoksisilin-klavulanat, azitromisin, sefadroksil, klaritromisin, klindamisin.

2. Analgesik-antipiretik
Obat ini digunakan untuk mengurangi gejala letargi, malaise, demam terkait infeksi pernapasan. Contoh yang paling banyak digunakan adalah parasetamol, ibuprofen

3. Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan menghambat pelepasan mediator inflamasi seperti histamine serta memblok migrasi sel. Antihistamin juga dapat berikatan secara tidak selektif dengan reseptor kolinergik sehingga menyebabkan efek antikolinergik. Peredaan gejala oleh antihistamin sebagian adalah karena efek antikolinergiknya, yang antara lain bertanggungjawab terhadap efek pengeringan  pada hipersekresi nasal, saliva dan kelenjar air mata. Antihistamin juga bekerja mengantagonis permeabilitas kapiler, rasa terbakar dan gatal. Ada 2 kelompok antihistamin yaitu : generasi pertama yang terdiri dari klorfeniramin, difenhidramin, hidroksizin dan generasi kedua yang terdiri dari loratadin, astemizol, terfenadin, setirizin. Antihistamin generasi pertama memiliki profil efek samping yaitu sedasi yang dipengaruhi oleh dosis, merangsang SSP dan menyebabkan mulut kering. Sedangkan antihistamin generasi kedua memiliki efek sedasi yang minimal.(Ikawati Z, 2006)

4. Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi udem subglotis dengan cara menekan inflamasi local. Kortikosteroid mengatur mekanisme humoral maupun seluler dari respon inflamasi dengan cara menghambat aktivasi dan inflitrasi eosinophil, basophil, dan sel mast ke tempat inflamasi serta mengurangi produksi dan pelepasan factor inflamasi (prostaglandin dan leukotriene). Selain itu kortikosteroid juga bersifat sebagai vasokonstriktor. Adapun rute pemberiannya bisa topical (beklometason, budesonide, flutikason, triamsinolon), enteral (metilprednisolon, deksametason) maupun parenteral (hidrokrtison, metilprednisolon, deksametason).

5. Dekongestan
Dekongestan, baik sistemik atau topical, merupakan golongan simpatomimetik yang beraksi pada reseptor adrenergic pada mukosa hidung menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang bengkak dan memperbaiki pernapasan. Contoh obat golongan ini adalah pseudoefedrin, efedrin sulfat, fenilpropanolamin, oxymetazolin, xylometazolin. Penggunaan agen topical yang lama (lebih dari 3-5 hari) dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa, dimana  hidung kembali tersumbat akibat vasodilatasi perifer. Efek samping lain antara lain rasa terbakar, perih, kering pada mukosa hidung dan juga bersin.

6. Bronkodilator
Obat ini meredakan gejala sesak napas dengan dilatasi pada bronkus. Agen yang digunakan diantaranya:

  • β-adrenoreseptor agonis. Obat ini bekerja dengan mengaktivasi adenilat siklase sehingga meningkatkan kadar siklik AMP intrasel dan merelaksasi otot polos bronkus. Berdasar durasi kerjanya obat golongan ini tebagi menjadi obat aksi pendek (salbutamol, terbutalin, fenoterol) dan aksi panjang (salmeterol). β-agonis yang diberikan secara inhalasi dalam bentuk uap hanya 10% yang terdeposit di sepanjang bronki hingga paru. Upaya untuk meningkatkan kadar obat yang mencapai paru diantaranya dengan memilih bentuk sediaan serbuk yang disemprotkan  yang dapat mencapai 30% terdeposit di saluran bronkus-paru serta teknik penyemprotan yang tepat.
  • Metil-ksantin. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesterase, sehingga mencegah penguraian siklik AMP, sehingga kadar siklik AMP mningkat. Hal ini akan merelaksasi otot polos bronkus dan mencegah pelepasan mediator alergi seperti histamine dan leukotriene dari sel mast. Contoh obat golongan ini adalah teofilin, teobromin, dan kafein.
  • Mukolitik

Mukolitik merupakan obat yang dipakai untuk mengencerkan mucus yang kental, dengan cara membuka ikatan gugus sulfidril pada mukoprotein sehingga viskositas mucus turun, sehingga mudah untuk diekspektorasi. Perannya sebagai terapi tambahan pada bronchitis, pneumonia. Pada bronchitis kronik terapi dengan mukolitik hanya berdampak kecil terhadap reduksi dari eksaserbasi akut, namun berdampak reduksi yang signifikasn terhadap jumlah hari sakit pasien. Agen yang banyak digunakan adalah asetilsistein baik oral maupun nebulasi

7. Vitamin
Pada sebuah studi literature dari Januari 2020 – Juni 2021 disebutkan bahwa menjaga kadar normal vitamin D, vitamin E, vitamin C dan folat dalam darah mempunyai efek positif pada pencegahan infeksi saluran napas seperti influenza, pilek, covid-19. Vitamin C dan E, suatu antioksidan, berperan dalam system kekebalan tubuh manusisa termasuk penghalang epitel, kekebalan bawaan, dan kekebalan adaptif. Vitamin D berperan dalam menjaga pengehalang fisik system kekebalan tubuh melelui pemeliharaan integritas mukosa, yang biasanya terganggu oleh virus dan mikroorganisme lain.

Daftar pustaka:

  • Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
  • Firdaus, AP, Sulistyorini, L. 2016. Kadar SO2 dan Kejadian ISPA di Kota SurabayaMneurut Tingkat Pencemaran yang Berasal dari Kendaraan Bermotor. Departemen Kesehatan Lingkungan. FKM UNAIR
  • Ikawati, Zullies. 2006. Farmakterapi Penyakit Sistem Pernapasan. Yogyakarta: Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik. Bagian  Farmakologi dan Farmasi Klinik. Fakultas Farmasi UGM
  • Jae-Hee Park, Yunjung Lee, Mijoo Choi, & Eunju Park. 2023. The Role of Some Vitamins in Respiratory-related Viral Infections: A Narrative Review. Cin Nutr Res, 12(1):77-89. doi: 10.7762/cnr.2023.12.1.77
  • WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jenewa: WHO Interim Guidelines
  • Picture : https://dinkes.magelangkab.go.id/2023/09/27/apa-itu-ispa-apakah-ispa-berbahaya-lalu-bagaimana-penanganannya/

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: