Berita

Leptospirosis pada Musim Penghujan

apt. Danik Dwi Putranti., S.Farm
(Instalasi Farmasi RS UII Yogyakarta)

Leptospirosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri gram negatif dari genus Leptospira ,famili Leptospiraceae dan ordo Spirochaetales. Penyakit tersebut dapat ditransmisikan secara langsung dari hewan (hewan pengerat, anjing, babi, kuda) ke manusia melalui urin hewan yang terinfeksi ataupun secara tidak langsung yaitu dari kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi (department of health & human services, cdc, 2018).  Leptospirosis umumnya terjadi pada daerah iklim tropis terutama pada musim penghujan di area dengan sanitasi yang buruk. Infeksi leptospirosis dapat menyebabkan kematian hingga 10% dan sering disebut dengan penyakit akibat kerja, karena paparan banyak diperoleh pada area pertambangan, pertanian, peternakan, dan pemeliharaan saluran pembuangan (Munoz-Zanzi, 2020).

International Leptopspirosis Society menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara dengan jumlah kasus leptospirosis yang cukup tinggi dan menempati peringkat ketiga dunia untuk kasus kematian yang disebabkan oleh leptospirosis . Hal ini berkaitan dengan faktor resiko yaitu populasi tikus sebagai reservoir leptospirosis yang tinggi, sanitasi yang buruk serta semakin meluasnya kawasan banjir di Indonesia . Pada tahun 2019, dilaporkan terdapat 920 kasus leptospirosis di Indonesia dengan kematian sebanyak 122. Kasus tersebut dilaporkan terjadi pada 9 provinsi yaitu Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DIY, hingga November 2022 terdapat 181 kasus Leptospirosis di Yogyakarta dan sebanyak 10 orang dinyatakan meninggal. Kejadian leptospirosis tersebut 102 kasus terjadi di Kabupaten Bantul, 33 kasus di Kabupaten Sleman, 27 kasus di Kabupaten Gunungkidul, dan 10 kasus terjadi di Kabupaten Kulonprogo .

Masa inkubasi bakteri spirochete selama 2-30 hari dan gejala terasa setelah 5-14 hari setelah terinfeksi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk penegakan diagnosis leptospirosis dibedakan menjadi pemeriksaan laboratorium yang bersifat umum dan spesifik.

Pemeriksaan umum dibedakan untuk kasus yang ringan dan berat :

  1. Kasus ringan ditandai dengan hasil LED meningkat , jumlah leukosit tidak normal dan peningkatan bilirubin.
  2. Kasus berat ditandai dengan trombositopenia berat, kadar serum kreatinin meningkat, dan peningkatan bilirubin.

Pemeriksaan spesifik :

  1. Pemeriksaan bakteri
  2. Pemeriksaan bakteri dilakukan dengan menggunakan mikroskop secara langsung menggunakan sampel darah 6 hari setelah muncul gejala.
  3. Isolasi bakteri hidup
  4. Deteksi antigen dengan teknik RIA (radio immunoassay), ELISA (Enzyme-Liked Immunosorbent Assay), dan Chemiluminescent Immunoassay.
  5. Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan serologis dilakukan dengan metode MAT (Microscopic Aglutination Test) dan ELISA (Enzyme-Liked Immunosorbent Assay).

  • Pemeriksaan molekuler

Pemeriksaan molekuler dilakukan menggunakan metode PCR ELISA (Polymerase Chain Reaction) dan pemetaan (Setiawan, 2008).

Gejala-gejala yang terjadi pada pasien leptospirosis bervariasi. Gejala ringan dapat berupa demam, pusing , pusing, nyeri betis dan punggung, mual, muntah, diare, sakit perut , batuk, dan ruam kulit. Beberapa pasien juga mengalami gejala yang berat meliputi Jaundice, gagal ginjal, meningitis aseptik, aritmia jantung, pendarahan (terutama di pernapasan), kombinasi gagal ginjal dan hati (weil). Leptosperosis pada wanita hamil juga akan menyebabkan komplikasi janin hingga kematian janin .

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari penyakit leptospirosis antara lain :

  1. Menghindari mandi , berenang di kawasan yang kemungkinan dapat terkontaminasi seperti di sungai pada musim hujan atau banjir.
  2. Menggunakan APD (sepatu boots, sarung tangan) ketika akan melakukan kontak fisik dengan hewan ternak dan lingkungannya.
  3. Menjaga populasi hewan pengerat dan simpan makanan/minuman ditempat yang tertutup.
  4. Menjaga kebersihan hewan ternak dan lingkungannya  (cdc, 2018).

Pengobatan dengan antibiotik sebaiknya segera diberikan setelah dicurigai penyakit leptospirosis  dan sebelum hari kelima setelah timbulnya gejala penyakit meskipun hasil laboratorium belum keluar, karena tes serologis tidak menjadi positif hingga satu minggu setelah timbul gejala. Terapi profilaksis pasca paparan dapat menggunakan antibiotik dimulai 1 sampai 2 hari sebelum paparan dan dilanjutkan selama periode paparan. Riwayat terpapar sekali dengan resiko ringan dapat menggunakan doksisiklin 100mg 2 kali sehari dosis tunggal dalam 24-72 jam. Resiko sedang, dapat menggunakan doksisiklin 100mg 2 kapsul sekali sehari untuk 3-5 hari , dimulai segera dalam 24-72 jam. Pasien dengan riwayat paparan berulang kali dengan resiko tinggi menggunakan doksisiklin 100mg 2 kapsul sekali seminggu hingga akhir terpapar.

Keseimbangan elektrolit serta fungsi paru dan jantung sangat penting diperhatikan pada kasus leptospirosis sedang-berat. Pasien yang menderita gagal ginjal diterapi dengan hemodialisis atau hemodiafiltrasi. Transfusi darah dan produk darah diperlukan jika terdapat perdarahan berat. Penurunan trombosit dalam waktu singkat ataupun jumlah trombosit kurang dari 50 ribu / mm3 dapat dilakukan transfusi trombosit dini (Amin, 2016).

Daftar Pustaka

Amin, L. Z. (2016). Leptospirosis. CDK-243 Vol 43 Nomor 8.

Department of health & human services, cdc. 2018. Leptospirosis Fact and Sheet for Clinicians. https://www.cdc.gov/leptospirosis/pdf/fs-leptospirosis-clinicians-eng-508.pdf.

Diseases, P. S. 2010. Leptospirosis Clinical Practice Guidelines.

Munoz-Zanzi, C. G. 2020. A Systematic Literature Review of Leptospirosis Outbreaks Worldwide, 1970-2012. Revista Panamerica de Salud Publica / Pan America Journal of Public Health.

Setiawan, I. M. 2008. Pemeriksaan Laboratorium Untuk Mendiagnosis Penyakit Leptospirosis. Media Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 1.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: