Berita

Mari Mengenal Penyakit dan Terapi TB Resisten Obat (TB RO)

apt. Grace Shelia Pramitha Putri, S.Farm.
RSUD Wonosari

Tuberkulosis resisten obat (TB-RO) adalah penyakit TB yang disebabkan karena adanya perkembangan strain kompleks Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap obat-obat TB umum atau sensitif, hal ini dapat terjadi karena adanya mutasi spontan pada kromosom. Resistensi ini dapat terjadi pada pasien baru yang terinfeksi oleh pasien TB resisten maupun pada pasien yang pernah diobati. Resistensi dapat terjadi selama masa pengobatan atau reinfeksi dari pasien TB resitan. Peningkatan kasus resistensi ini merupakan ancaman dalam upaya pengendalian TB dan menjadi masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia.

Secara global pada tahun 2019 diperkirakan 3,3% dari pasien TB baru dan 17,7% dari pasien TB yang pernah diobati merupakan TB resisten obat. Diperkirakan terdapat 9,96 juta insiden TB di seluruh dunia, dimana 465.000 diantaranya adalah TB MDR/ TB RR (resisten rifampicin). Dari sekian kasus tersebut hanya 206.0303 yang berhasil ditemukan dan 86% yang diobati dengan angka keberhasilan pengobatan global 57%. Di Indonesia sendiri sebanyak 11.500 pasien TB RR ditemukan dan dilaporkan, sekitar 48% pasien memulai pengobatan TB lini kedua, dengan angka keberhasilan pengobatan 45%. Diperkirakan angka-angka ni akan terus naik bila tidak diantisipasi dengan serius.

Data kementerian Kesehatan menyebutkan jumlah kasus TB diperkirakan mencapai 969 ribu, dengan tingkat kejadian 354 per 100 ribu penduduk. Indonesia juga mencatat 144 tibu kematian akibat TB, dengan perkiraan sebanyak 28 ribu diantaranya merupakan kasus resistensi obat. Hal ini juga disampaikan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam diskusi memperingati Hari TB sedunia tahun 2023. Beliau juga menambahkan bahwa sepanjang 2022, melalui program active case finding telah terdeteksi sebanyak 74% atau 717 ribu kasus baru.

Faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) adalah tidak adekuatnya terapi pengobatan pasien TB. Secara garis besar terdapat tiga kelompok faktor penyebab resistensi OAT. Faktor pertama dari pemberi jasa atau petugas kesehatan dimana adanya penegakan diagnosis yang tidak tepat, pengobatan yang tidak sesuai panduan, pengobatan dengan dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu yang tidak adekuat, serta penyuluhan kepada pasien yang belum optimal.

Faktor dari pasien, ini menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh baik terhadap resistensi maupun keberhasilan terapi. Hal-hal yang dapat meningkatkan resistensi meliputi ketidakpatuhan terhadap anjuran dokter atau petugas kesehatan, tidak disiplin menelan obat, menghentikan pengobatan sebelum waktunya, dan faktor gangguan penyerapan obat. Dalam hal kedisiplinan penggunaan obat perlu adanya dukungan yang adekuat baik dari diri pasien sendiri, keluarga dan petugas kesehatan dalam memberikan pendampingan.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah program pengendalian TB. Upaya pemangkasan angka kasus dan kejadian resistensi seharusnya dibarengi dengan adanya kecukupan ketersediaan OAT dan kualitas OAT yang memenuhi standar. Namun, dua hal ini terkadang masih menjadi hal yang belum tersedia optimal. 

Dalam perkembangannya resistensi atau kekebalan bakteri Mycobacterium tuberculosis terhadap obat antituberkulosis dikelompokkan dalam beberapa jenis, yaitu:

  1. Monoresistensi: resistensi terhadap salah satu OAT lini pertama, misalnya terhadap Isoniazid (H)
  2. Poliresistensi: resistensi terhadap lebih dari satu OAT lini pertama selain kombinasi Isoniazid dan Rifampicin (HR), misalnya resistensi Isoniazid dan Etambutol (HE), Rifampicin dan Etambutol (RE), Isoniazid Etambutol dan Streptomisin (HES), Rifampicin Etambutol dan Streptomisin (RES)
  3. Multidrug resistence (MDR): resistensi terhadap Isoniazid dan Rifampicin (HR), dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain.
  4. Pre-XDR: TB MDR yang disertai resistense terhadap salah satu obat golongan Fluoroquinolon
  5. Extensively Drug Resistence (XDR): TB MDR disertai resisten terhadap salah satu golongan Fluoroquinolon dan salah satu OAT grup A (Bedaquilin atau Linezolid).
  6. TB resisten Rifampicin (TB RR): resistensi terhadap Rifampicin yang terdeteksi menggunakan metode fenotipik ataupun genotipik, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain.

Salah satu upaya penurunan kasus TB resisten adalah dengan adanya penegakan diagnosis yang adekuat. Pada dasarnya, terduga TB RO adalah semua orang yang memiliki gejala TB dengan satu atau lebih riwayat pengobatan atau masuk dalam kriteria yang ditetapkan. Kriteria yang dimaksud diantaranya pasien TB yang gagal pengobatan dengan OAT kategori 2, pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi, pasien TB yang memiliki riwayat pengobatan tidak standar atau menggunakan kuinolon  dan obat injeksi lini kedua setidaknya 1 bulan, pasien TB gagal pengobatan dengan OAT kategori 1, pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi, pasien reinfeksi setelah pengobatan kategori 1 atau 2, pasien TB kembali setelah putus obat, terduga TB yang memiliki kontak erat dengan pasien TB RO, serta pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak responsif secara klinis maupun bakteriologis terhadap OAT.

Penegakan diagnosis terhadap pasien-pasien terduga TB RO dilakukan melalui pemeriksaan mikrobiologis yang selanjutnya juga dapat digunakan sebagai metode pemantauan atau evaluasi pengobatan. Beberapa metode yang dapat digunakan diantaranya TCM (tes cepat molekuler), pemeriksaan mikroskopis BTA, pemeriksaan biakan, uji kepekaan secara fenotip, dan uji kepekaan secara genotip melalui uji LPA lini kedua.

Strategi pengobatan TB RO adalah memastikan semua pasien yang sudah terkonfirmasi sebagai TB RR/ TB MDR dapat mengakses pengobatan secara cepat, sesuai standar dan bermutu. Pengobatan TB harus dimulai dalam jangka waktu 7 hari setelah diagnosis ditegakkan. Berdasarkan rekomendasi WHO tahun 2020, pengobatan TB RO di Indonesia saat ini menggunakan panduan pengobatan jangka pendek (9-11 bulan) dan jangka Panjang (18-20 bulan).

  1. Panduan Jangka Pendek

Merujuk pada rekomendasi WHO 2019, panduan terapi TB resisten obat diberikan tanpa injeksi, dimana obat injeksi Kanamisin atau Kapreomisin digantikan dengan obat Bedaquiline. Panduan jangka pendek ini dapat diberikan pada pasien dengan kriteria: tidak resisten terhadap levofloxacin, tidak ada kontak dengan pasien TB pre/ XDR, tidak pernah mendapat OAT lini kedua selama ≥ 1 bulan, tidak ada resistensi atau digaan tidak efektif terhadap OAT pada panduan jangka pendek (kecuali resisten INH dengan mutasi inhA atau katG), tidak sedang hamil atau menyusui, bukan kasus TB paru maupun ekstra paru berat, pasien TB RO dengan HIV, dan berusia lebih dari 6 tahun.

Komposisi Panduan Pengobatan Jangka Pendek

Durasi total pengobatan jangka pendek adalah 9-11 bulan, dengan tahap awal selama 4 bulan (bila terjadi konversi BTA pada atau sebelum bulan ke-4) dan tahap lanjutan selama 5 bulan. Bila belum terjadi konversi pada bulan ke-4, tahap awal pengobatan dapat diperpanjang sampai bulan ke-5 atau ke-6. Konversi adalah bila terjadi perubahan hasil pemeriksaan mikroskopis atau biakan sputum dari positif menjadi negatif pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut dengan jarak 30 hari.

Pada panduan jangka pendek, Bedaquiline tetap diberikan selama 6 bulan tanpa memperhatikan durasi tahap awal pengobatan. Semua obat diminum satu kali sehari, 7 hari dalam seminggu (setiap hari), kecuali bedaquiline yang diminum setiap hari pada 2 minggu pertama dan 3x seminggu pada 22 minggu berikutnya. Vitamin B6 (piridoksin) dapat diberikan untuk pasien dengan terapi jangka pendek.

Komposisi panduan pengobatan jangka pendek merupakan panduan standar yang tidak dapat dimodifikasi. Namun pada kondisi tertentu seperti terjadinya efek samping, Etionamid dapat diganti dengan Protonamid dan Levofloxacin diganti dengan Moxifloxacin. Jika sampai bulan ke-6 tidak terjadi konversi, maka pasien dinyatakan gagal pengobatan untuk selanjutnya pengobatan jangka pendek dihentikan dan dirujuk untuk pengobatan TB RO jangka panjang.

  • Panduan Jangka Panjang

Pengobatan TB RO dengan panduan jangka panjang, selama 18-24 bulan, diberikan pada pasien yang tidak bisa mendapat panduan pengobatan jangka pendek dan pasien gagal panduan pengobatan jangka pendek. Pada panduan jangka panjang dapat dilakukan modifikasi sesuai kondisi pasien atau disebut panduan individual, untuk dapat meningkatkan efektivitas dan keamanan pada pasien.

Pengobatan jangka panjang dapat diberikan kepada pasien TB RO yang memiliki kriteria, diantaranya: pasien TB RR/ MDR dengan resisten terhadap Fluoroquinolon (TB pre-XDR), pasien TB XDR, pasien gagal pengobatan jangka pendek, pasien TB RO yang pernah mendapat OAT lini kedua ≥ 1 bulan. Pasien TB RR/ MDR yang terbukti atau terduga resisten terhadap Bedaquiline, Clofazimine atau Linezolid, pasien TB RR/MDR paru dengan lesi luas, kavitas di kedua lapang paru, pasien TB RR/ MDR ekstra paru berat atau dengan komplikasi, pasien TB RO dengan alergi atau intoleran terhadap pengobatan jangka pendek, ibu hamil dan menyusui.

Langkah penyusunan panduan pengobatan TB RO jangka Panjang

Penyusunan penduan pengobatan dilakukan dengan mengikuti prinsip sebagai berikut:

  1. Pengobatan dimulai dengan lima obat TB yang diperkirakan efektif dan terdapat setidaknya tiga obat setelah penggunaan Bedaquiline dihentikan
  2. Panduan pengobatan terdiri dari tiga obat Grup A dan dua obat Grup B
  3. Bila dari Grup A dan B tidak memenuhi lima obat maka diambil oabt dari Grup C untuk melengkapi
  4. Setelah pemberian Bedaquiline dihentikan (setelah 6 bulan), panduan pengobatan harus terdiri dari minimal 3 obat
  5. Obat pada Grup C diurutkan berdasarkan rekomendasi
  6. Obat injeksi Amikasin atau Streptomisin dapat diberikan hanya bila pilihan obat oral dari Grup C tidak mencukupi panduan. Hanya diberkan bila sudah terbukti sensitif dan terdapat pemantauan efek sampng obat yang adekuat
  7. Etionamid/ Protonamid dan PAS dapat ditambahkan dalam panduan pengobatan jika Bedaquiline, Linezolid, Clofazimine, atau Delamanid tidak dapat digunakan dan tidak terdapat opsi lain
  8. Vitamin B6 dapat diberikan bila pasien mendapat terapi Linezolid atau Sikloserin

Panduan pengobatan TB RO jangka panjang harus menyesuaikan dengan riwayat pengobatan dan kondsi klinis pasien, termasuk hasil uji kepekaan OAT lini kedua yang tersedia, riwayat intoleransi terhadap penyakit, dan adanya komorbid yang menyebabkan interaksi obat OAT dengan obat lain. Durasi pengobatan TB RO jangka panjang ialah selama 18 bulan dan 16 bulan setelah terjadi konversi, durasi total pengobatan jangka panjang bergantung pada waktu konversi biakan.

Durasi pengobatan TB RO jangka panjang

Bila pasien tidak mengalami konversi biakan pada bulan ke-8 pengobatan maka pasien dinyatakan gagal pengobatan dan harus mengulang pengobatan jangka Panjang dengan komposisi obat sesuai uji kepekaan terbaru.

Dalam publikasi terakhir pada 15 Desember 2022, WHO merilis pedoman terbaru pengobatan TB RO khususnya TB RR/MDR. Dalam publikasi tersebut terdapat rekomendasi penggunaan panduan 6 bulan secara oral yang terdiri dari Bedaquiline, Protonamid, Linezolid dan Moxifloxacin (BPaLM) pada pasien TB RR/MDR dengan resistensi tambahan terhadap Fluroquinolone (TB pre-XDR). Rekomendasi ini berlaku untuk pasien dengan TB RR/MDR dan TB pre-XDR, pasien dengan TB paru yang dikonfirmasi dan semua TB ekstraparu kecuali TB system syaraf pusat, osteoarticular dan TB milier, pasien berusia 14 tahun ke atas, pasien dengan paparan Bedaquiline, Linezolid, Protonamid atau Linezolid sebelumnya <1 bulan. Rekomendasi ini tidak berlaku untuk wanita hamil dan menyusui.

Panduan ini memperlihatkan keberhasilan pengobatan >80%. Rekomendasi ini berkemungkinan untuk dijadikan pilihan pengobatan TB RO yang lebih pendek dengan angka keberhasilan yang baik, bagi pasien TB RO termasuk di Indonesia.

Selama masa pengobatan dan setelah pengobatan perlu dilakukan evaluasi pengobatan secara terjadwal. Evaluasi dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun. Namun bila timbul gejala dan keluhan TB maka pasien harus segera datag ke fasilitas pelayanan kesehatan pelaksana layanan TB RO untuk dilakukan pemeriksaan berupa anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, pemeriksaan sputum BTA, biakan dan foto toraks.

Dalam mengoptimalkan keberhasilan terapi perlu adanya edukasi dan dukungan kepada pasien maupun keluarga pasien. Konseling dan edukasi dapat diberikan selama menunggu memulai pengobatan sampai terselesaikannya pengobatan. Edukasi tambahan yang dapat diberikan berupa edukasi etika batuk dan protokol kesehatan, edukasi pasien untuk memakai masker, edukasi kepatuhan dan kedisiplinan pasien dan keluarga pasien untuk menyelesaikan pengobatan sesuai jangka waktu yang ditetapkan, mendorong pasien untuk kooperatif dengan PMO dan rutin melakukan pemeriksaan, mendorong pasien untuk ikut mengingat jadwal minum obat dengan membuat catatan atau alarm pengingat, edukasi perilaku hidup bersih dan sehat baik kepada pasien maupun keluarga pasien serta edukasi terkait cara minum dan efek samping obat. Dukungan secara psikologis, materi, pemantauan pengobatan serta konseling dan edukasi selama pengobatan menjadi hal bersifat esensial, idealnya dilakukan secara kolaboratif dari keluarga pasien, tenaga kesehatan dan lingkungan masyarakat.

Sumber:

  • Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Tuberkulosis Resisten Obat di Indonesia.
  • Sucahyo, Nurhadi. 2023. https://www.voaindonesia.com/amp/resistensi-obat-bayangi-upaya-menekan-kasus-tb-di-indonesia-/7021069.html. Diakses 22 Desember 2023.
  • WHO. 2022. WHO consolidated guidelines on tuberculosis, Module 4: Drug-resistent tuberculosis treatment. Ramadhani, Amalia Rizki et al. 2018. Knowledge Toward Drugs Resistent Tuberculosis in One of the Highest Burden Drug Resistent Country. Althea Medical Journal, 5(3).
  • picture : https://yki4tbc.org/apa-itu-tb-tbc/tb-anak/tb-resistan-obat/perbedaan-tb-sensitif-obat-dan-tb-resistan-obat/

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: